https://raushan-design.blogspot.com/

Tanggap Darurat Bencana Bukan Urusan Sektoral

Oleh: Aris Felani, S.Sos

Setiap kali bencana melanda negeri ini, kita selalu melihat pola yang berulang. Penanganan tanggap darurat berjalan secara sektoral: masing-masing instansi bergerak dengan cara kerjanya sendiri, tanpa mekanisme koordinasi yang utuh. Akibatnya, muncul banyak persoalan—mulai dari distribusi bantuan yang tumpang tindih, keterlambatan evakuasi, hingga korban yang terlewat dari pendataan.

Padahal, bencana tidak pernah mengenal batas sektor. Dampaknya meluas ke semua aspek kehidupan: kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi, bahkan psikologis masyarakat. Karena itu, tanggap darurat harus dipandang sebagai ruang kolaborasi lintas sektor, bukan panggung sektoral.

Belajar dari Data dan Kasus Nyata

Menurut data BNPB hingga September 2025, tercatat 1.768 kejadian bencana di Indonesia. Dampaknya luar biasa: 348 jiwa meninggal, 36 hilang, 569 luka-luka, dan lebih dari 4,8 juta orang menderita serta mengungsi. Jenis bencana yang paling banyak terjadi adalah banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, dan kebakaran hutan/lahan.

Kasus banjir di Bali baru-baru ini menjadi contoh nyata. Hujan deras menyebabkan banjir bandang yang menewaskan 18 orang dan memaksa lebih dari 500 orang mengungsi. Di banyak daerah, banjir juga menimbulkan problem distribusi bantuan yang tidak merata—ada daerah yang menerima logistik berlimpah, sementara daerah lain justru terlambat disentuh.

Masalah ini muncul bukan karena kurangnya niat baik, tetapi karena mekanisme penanganan yang terintegrasi belum berjalan optimal.

Mekanisme Penanganan yang Terintegrasi

Agar penanganan bencana lebih efektif, perlu dibangun mekanisme terpadu yang mengikat semua sektor, antara lain:

1. Satu Pusat Komando (Command Center)

Seluruh keputusan strategis harus keluar dari satu pintu, agar tidak ada tumpang tindih instruksi.

2. Sistem Data Bersama

Data korban, kebutuhan, dan ketersediaan logistik harus diakses lintas sektor dalam satu platform, sehingga distribusi lebih adil dan tepat sasaran.

3. Protokol Kolaborasi Lintas Sektor

Peran pemerintah, dunia usaha, masyarakat sipil, relawan, dan media harus diatur dengan jelas untuk saling melengkapi, bukan berjalan sendiri-sendiri.

4. Latihan Bersama Secara Berkala

Simulasi lintas sektor penting dilakukan agar koordinasi di lapangan teruji sebelum bencana datang.

Menatap Musim Hujan Panjang 2025–2026

Badan Meteorologi telah memperingatkan bahwa musim hujan tahun ini diperkirakan lebih panjang dari biasanya. Puncaknya terjadi pada November–Desember di Sumatera dan Kalimantan, serta Januari–Februari 2026 di Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Risiko banjir besar dan tanah longsor akan meningkat tajam.

Ini adalah momentum untuk menguji sejauh mana kita mampu keluar dari jebakan sektoral menuju mekanisme penanganan yang terintegrasi. Jangan sampai kita selalu gagap setiap kali bencana datang, padahal pola risikonya sudah bisa diprediksi.

Kesimpulan

Tanggap darurat bukan hanya tugas pemerintah, bukan pula monopoli lembaga tertentu. Ia adalah kerja besar yang menuntut kolaborasi, koordinasi, dan keterpaduan. Dengan mekanisme terintegrasi, setiap sumber daya dapat dimaksimalkan, dan masyarakat terdampak benar-benar merasakan kehadiran negara bersama seluruh elemen kemanusiaan.

Sudah saatnya kita meninggalkan pola sektoral, dan benar-benar menempatkan tanggap darurat sebagai ruang kolaborasi yang terintegrasi demi keselamatan bersama.

Related Posts

Related Posts

Ragam

More »

Olahraga

More »

Sosok

More »

Opini

More »