Kredit Fiktif Seharga Nyawa, Alarm Fraud Perbankan

Nara Ahirullah

Kasus tewasnya Muhammad Ilham Pradipta, Kepala Cabang Bank BRI Cempaka Putih, Jakarta Timur, pasti mengagetkan banyak pihak. Dalam kasus ini media banyak memberitakan kasus pembunuhan yang ternyata melibatkan seorang terkenal sebagai pengusaha dan motivator. 

Namun, sesungguhnya ada yang tidak kalah mengerikan di balik kasus pembunuhan itu. Yaitu, dugaan kredit fiktif yang diungkap almarhum Muhammad Ilham Pradipta sehingga menyebabkan nyawanya melayang.

Jika benar adanya dugaan kredit fiktif itu, maka dari kasus dibunuhnya Muhammad Ilham Pradipta kita semua harus belajar, betapa berbahayanya mempertahankan kejujuran dan tingginya potensi kecurangan dalam sistem perbankan. Istilah Jawanya, jujur ajur (hancur). Mengungkap dan menggagalkan kredit fiktif benar-benar sudah seharga nyawa.

Kredit fiktif di sektor perbankan Indonesia merupakan salah satu bentuk kejahatan perbankan yang paling merugikan. Baik bagi bank itu sendiri, nasabah, maupun stabilitas sistem keuangan nasional. Kredit fiktif terjadi ketika pinjaman disalurkan oleh bank tanpa adanya debitur atau kegiatan usaha yang nyata, melainkan hanya berdasarkan dokumen, data, atau jaminan yang dipalsukan. 

Hal ini sungguh mengerikan. Kepercayaan kita pada perbankan yang beberapa pekan lalu sempat turun karena pemblokiran rekening dorman oleh PPATK, kini mencuat lagi. Meskipun tak langsung terasa dampaknya pada masyarakat. Padahal, sesungguhnya uang yang akan diberikan pada kong-kalikong kredit fiktif adalah uang masyarakat yang disimpan di bank.

Masyarakat secara umum menyimpan di bank sebagai bentuk upaya menabung. Selain itu, menyimpan uang di bank bertujuan untuk mempermudah transaksi. Di mana era sekarang, banyak transaksi dilakukan secara elektronik. 

Bagi orang kaya, menyimpan uang di bank adalah bentuk dari upaya pengamanan. Daripada disimpan di rumah, ada kemungkinan dicuri maling atau tuyul. Disimpan di bank dianggap lebih aman dan jika bisa menguntungkan dengan sistem deposito.

Dari sudut pandang yang lain, setiap orang yang menyimpan uangnya di bank, sesungguhnya "memberi pinjam" uang pada bank secara sukarela. Sebab, uang di bank bukan disimpan begitu saja seperti anak kecil menyimpan uangnya di celengan atau di bawah bantalnya. Bank memutar uang yang disimpan masyarakat sebagai modal usaha bagi orang yang membutuhkannya dalam bentuk kredit usaha.

Selain mendapatkan keuntungan dari biaya-biaya administrasi tabungan, bank juga mendapatkan keuntungan dari bunga-bunga kredit. Nah, tentu menjadi masalah besar jika uang-uang masyarakat itu disalurkan bank untuk kredit fiktif. Uang yang dipinjamkan dari bank akan raib tak terbayar.

Bank memang punya prinsip kehati-hatian untuk menyalurkan kredit. Tapi prinsip kehatian-hatian itu hanya sangat ketat pada usaha-usaha kecil. Di sisi lain hanya menjadi formalitas pada klien-klien tertentu. Ketika sudah menjadi formalitas, di situlah alur korupsi di sektor perbankan dimulai.

Kasus kredit fiktif biasanya dan pasti dilakukan dengan melibatkan oknum internal bank yang bekerja sama dengan pihak eksternal. Beberapa modus umumnya penggunaan identitas palsu. Permohonan kredit diajukan dengan memakai KTP, NPWP, atau dokumen perusahaan yang dipalsukan. Rekayasa jaminan (collateral) yang digunakan fiktif, ganda, atau nilainya jauh di bawah yang dilaporkan.

Ada pula dengan memanipulasi analisis kelayakan kredit sehingga pinjaman cair tanpa prosedur yang benar. Pembuatan perusahaan fiktif, untuk menyalurkan kredit ke perusahaan "boneka" yang tidak memiliki kegiatan usaha riil. Manipulasi laporan keuangan untuk meyakinkan pihak bank. Dan banyak modus lainnya yang semakin hari kian rapi dibuat dalam persekongkolan.

Jika kredit fiktif sudah terlanjur cair, maka hilanglah sudah dana sekian juta, miliar hingga triliun. Pihak penerima dan pemberi kredit yang bekerja sama akan saling diam karena sudah mendapatkan jatahnya masing-masing. Tapi, persekongkolan jahat tidak ada yang abadi. Jika sudah sampai pada takarannya pasti terungkap.

Muhammad Ilham Pradipta mungkin mengungkap adanya persekongkolan itu sebelum kredit fiktif itu cair atau bahkan setelah kredit fiktif itu cair. Mengungkap kejahatan kredit fiktif sebelum atau sesudah cair sama berbahayanya. 

Jika diungkap sebelum cair, akan dianggap menghalangi proses pencairan kredit fiktif. Kalau diungkap setelah pencairan, maka akan dianggap berbahaya bagi pihak yang bersekongkol karena ancaman bagi mereka adalah penjara. 

Kemungkinan besar, jika benar dugaan kasus kematian Muhammad Ilham Pradipta berkaitan dengan upaya pengungkapan kredit fiktif, maka Muhammad Ilham Pradipta pasti sudah sering mendapatkan ancaman. Ketika ancaman pada Muhammad Ilham Pradipta tidak mempan, maka selanjutnya adalah penculikan hingga pembunuhan. 

Kasus pembunuhan Muhammad Ilham Pradipta sebenarnya memunculkan kenyataan bahwa praktek-praktek penyaluran kredit fiktif di perbankan masih ada dan berpotesi terjadi. Dari dulu sampai sekarang potensi itu selalu dan tetap ada. Dalam jumlah besar maupun jumlah kecil.

Selama ini kasus kredit fiktif atau kecurangan lain di bank tertutup begitu rapi sehingga tampaknya tidak pernah ada. Itu karena kasus-kasus kecurangan yang melibatkan orang dalam bank selalu berhasil dirahasiakan. Sebab, kasus di sektor perbankan sangat berpengaruh kredibilitas bank yang bersangkutan. 

Konon, jika ada pihak internal bank terlibat kasus kredit fiktif atau kasus keuangan lainnya, pihak bank selalu melindunginya. Paling banter, orang bank yang terlibat kasus akan diturunkan pangkatnya, dipindah ke tempat yang jauh, atau diberhentikan dari posisi dan pekerjaannya.

Kasus kecurangan yang terjadi di bank dan melibatkan orang dalam jarang sekali dilaporkan pada pihak berwajib, kecuali sedikit sekali. Karena kasus kecurangan di bank akan melorotkan kredibilitas bank yang bersangkutan. Kepercayaan publik akan turun pada bank tersebut dan akan menarik uangnya. Daripada itu terjadi, maka bank memilih untuk menutup rapi apapun kasus keuangan yang terjadi di dalam.

Nah, sekarang bank bukan lagi hanya tempat menyimpan uang masyarakat. Terutama bank BUMN, kini telah menjadi saluran pemerintah untuk menyalurkan kredit usaha. Itu berarti bank juga mengelola uang pemerintah. Kasus Muhammad Ilham Pradipta mestinya bisa menjadi alarm bagi pemerintah dan aparat hukum untuk lebih ketat mengawasi perbankan dari praktek-praktek fraud dalam penyaluran kredit. (*)


Travel

More »