![]() |
Wapres Gibran saat dilantik pada 20 Oktober 2024. (Foto: wapresri.go.id) |
JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima pengajuan gugatan seorang bernama Subhan Palal. Isi gugatan itu terkait ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dianggap tidak setara SMA saat mendaftar sebagai Wapres ketika Pemilu.
Gugatan itu tercatat diajukan pada Jumat (29/8/2025) dan mendapat register nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst. Di antara petitum gugatan itu antara lain menyebutkan Gibran dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) patut membayar uang ganti rugi sebesar Rp 125 triliun.
Tertulis, “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara.
Kepada wartawan, Subhan mengaku melakukan gugatan itu karena syarat pendidikan Gibran tidak memenuhi syarat dalam pencalonan cawapres pilpres yangbsudah berlalu. “Syarat menjadi cawapres tidak terpenuhi. Gibran tidak pernah sekolah SMA sederajat yang diselenggarakan berdasarkan hukum RI,” terang Subhan saat dikutip dari Kompas.com, Rabu (3/9/2025).
Sementara itu, KPU pada website resminya mengumumkan Gibran telah menamatkan pendidikan setara SMA di Orchid Park Secondary School Singapore pada tahun 2002-2004 dan UTS Insearch Sydney, Australia pada tahun 2004-2007. Di sisi lain, Subhan menyatakan dia lembaga pendidikan itu tidak memenuhi syarat kesetaraan sebagaimana dipersyaratkan KPU.
“Karena di UU Pemilu itu disyaratkan, presiden dan wakil presiden itu harus minimum tamat SLTA atau sederajat,” terang Subhan dalam program Sapa Malam yang ditayangkan melalui Youtube Kompas TV, Rabu.
Menurut Subhan, KPU tidak punya kewenangan menentukan lembaga-lembaga pendidikan luar negeri itu setara dengan SMA di Indonesia. Sebab, dalam UU Pemilu menyebutkan syarat Presiden dan Wakil Presiden adalah tamatan SLTA, SMA, atau sederajat.
“Meski (institusi luar negeri) setara (SMA), di UU enggak mengamanatkan itu. Amanatnya tamat riwayat SLTA atau SMA, hanya itu,” katanya. Subhan mengatakan, gugatannya ini merujuk pada definisi SLTA atau SMA yang disebutkan dalam UU Pemilu yang menurutnya merujuk pada sekolah di Indonesia.
“Ini pure hukum, ini kita uji di pengadilan. Apakah boleh KPU menafsirkan pendidikan sederajat dengan pendidikan di luar negeri,” sambung Subhan.
Menurut Subhan, dirinya pernah mengajukan gugatan itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta. Namun, gugatannya tak diterima karena proses pemilu sudah selesai. PTUN menyatakan dismissal karena sudah tidak berwenang lagi memeriksa sengketa terkait surat penetapan KPU soal cawapres.
Namun, saat itu, gugatannya tidak diterima karena PTUN merasa sudah kehabisan waktu untuk memproses gugatan terkait pencalonan Gibran. Diketahui putusan PTUN itu pada tahun 2024 di Mahkamah Konstitusi dan dibacakan pada 22 April 2024.
Apakah ada motif politik? Subhan memastikan gugatan itu tidak di-back up oleh siapapun secara politik. Juga tak ada sponsor yang mendorongnya untuk melayangkan gugatan perdata tersebut. “Saya maju sendiri. Enggak ada yang sponsor,” tegas Subhan.
Dijelaskan, gugatannya ini juga berdasarkan kemungkinan bahwa KPU mendapat tekanan saat pencalonan Gibran sebagai cawapres. “Saya lihat, hukum kita dibajak nih kalau begini caranya. Enggak punya ijazah SMA (tapi bisa maju Pilpres). Ada dugaan, KPU kemarin itu terbelenggu relasi kuasa,” ujarnya.
Ditegaskan, dirinya menggugat kasus tersebut murni untuk memperjelas hukum di Indonesia. Terbukti dari petitum gugatannya yang mengharuskan Gibran untuk membayarkan uang ganti rugi kepada negara, bukan kepada dirinya atau kelompok tertentu.
“Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” tulis isi petitum.
Setelah diterima pendaftarannya, gugatan itu akan segera disidangkan. Menurut jadwal, sidang perdananya akan dilaksanakan Senin (8/9/2025) di PN Jakpus. (nra)