![]() |
Nara Ahirullah |
Anggap saja perhitungan kerugian akibat kerusuhan yang terjadi selama gelombang demonstrasi akhir Agustus 2025 itu benar. Cara hitungnya menggunakan metode proyek pembangunan dan pengadaan barang-barang yang rusak atau hilang.
Begitulah kejadian yang tidak menyenangkan, selalu dihitung ruginya. Keuntungan tersembunyi dalam kondisi tak menyenangkan tak pernah dihitung. Namanya, keuntungan di balik kerugian.
Jika dalam hal kerusuhan pemerintah menghitung kerugian fisik akibat kerusakan sejumlah fasilitas. Adakah yang menghitung keuntungan di balik demonstrasi? Kita hitung nanti.
Yang harus dipahami lebih dulu 'bahwa demonstrasi dan kerusuhan itu adalah dua hal yang berbeda. Tapi selalu ada saja yang melihatnya sebagai satu paket. Meski kenyataannya banyak demonstrasi yang tidak rusuh dan menyebabkan kerusakan.
Demonstrasi adalah penyampaian pendapat. Unjuk rasa. Orang-orang yang bergerak dalam demonstrasi membawa aspirasi dan tuntutan yang jelas. Solid, terpelajar, dan memahami aspirasi dan tuntutan yang dibawa dan akan disampaikan.
Sementara kerusuhan tidak membawa aspirasi atau tuntutan apapun. Dalam manajemen aksi, keadaan ini sangat dihindari. Itulah kenapa demonstrasi selalu melengkapi diri dengan identitas yang jelas. Supaya saling mengenali dan menghindari penyusup yang bisa mengubah demonstrasi menjadi kerusuhan.
Dalam demonstrasi besar, keberadaan identitas sangat berat diidentifikasi. Rawan penyusup, sehingga demonstrasi berkembang menjadi kerusuhan. Massa demonstran kerap tersulut ikut kerusuhan karena bagian dari mereka tak jarang jadi korban kekerasan saat meredam kerusuhan.
Saat kerusuhan berkembang besar, massa demonstran hampir bisa dipastikan menarik diri mundur. Karena mereka tahu risiko dari kerusuhan. Yaitu, aspirasi dan tuntutan mereka akan tenggelam dalam pemberitaan media. Karena media cenderung akan memberitakan kerusuhan sebagai peristiwa aktual.
Baik, kita kembali ke perhitungan untuk menghitung seberapa besar keuntungan dari demonstrasi akhir-akhir ini.
Kalaupun dihitung, keuntungan dari aksi demonstrasi tidak bisa kuantitatif. Nilainya pasti kualitatif meski secara subjektif bisa melahirkan angka kuantitas dalam nilai sejumlah rupiah.
Mari kita hitung!
Ketika gelombang demonstrasi terjadi, bersamaan dengan itu terlaksana edukasi politik. Demonstrasi yang terjadi belakangan, meski media-media resmi diminta supaya tidak terlalu memberitakannya, media sosial menjadi saluran tidak resmi yang jadi solusi.
Masyarakat yang kini gandrung pada media sosial secara langsung maupun tak langsung teredukasi secara politik. Masyarakat menjadi tahu regulasi dan hak mereka dalam ranah politik. Tanpa demonstrasi, mengedukasi masyarakat secara politik akan membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang tidak murah.
Untuk keberhasilan edukasi politik itu, demonstrasi telah memberikan keuntungan cukup besar pada bidang demokrasi di Indonesia. Jika dianggarkan Rp 100.000 per orang untuk 283,5 juta jiwa rakyat Indonesia, maka hasilnya Rp 28,3 triliun.
Jumlah itulah yang diberikan demonstrasi untuk memintarkan seluruh rakyat Indonesia dalam edukasi politik. Suatu keuntungan yang besar bagi bangsa Indonesia.
Kemudian, akibat demonstrasi itu, tunjangan yang akan diberikan pada DPR RI yang nilainya mencapai Rp 50 juta per bulan juga akan dibatalkan. Jika dihitung, Rp 50 juta x 580 anggota DPR RI x 12 bulan, sama dengan Rp 348 miliar per tahun. Jika DPR RI masih menjabat 4 tahun lagi, maka nilainya Rp 1,3 triliun.
Lanjut, karena demonstrasi yang terjadi, pemerintah bisa mengetahui adanya potensi kerusuhan. Sehingga selanjutnya pemerintah akan lebih aspiratif pada aksi demonstrasi. Dengan begitu maka pemerintah dapat menghilangkan potensi kerusuhan yang menyebabkan kerugian Rp 900 miliar.
Dengan perubahan sikap pemerintah yang lebih aspiratif, maka demonstrasi telah menyumbang penghematan dari tertekannya potensi kerusuhan. Tanpa perubahan itu, pemerintah bisa saja harus menanggung kerugian sebesar Rp 900 miliar per tahun, jika setiap tahun terjadi kerusuhan.
Maka demonstrasi telah menghemat anggaran negara sebesar Rp 3,6 triliun dari potensi kerusakan akibat kerusuhan selama 4 tahun periode Pemerintahan Prabowo-Gibran. Jika kerusuhan terjadi setiap bulan, maka nilainya mencapai Rp 40,3 triliun.
Selain itu masih banyak lagi yang bisa dihitung dari keuntungan adanya demonstrasi. Perubahan sikap Presiden Prabowo, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang memastikan tidak ada kebaikan pajak di 2026, lahirnya intelektual-intelektual demokrasi baru dan muda, keterlibatan masyarakat dalam bersuara di ruang publik, juga merupakan keuntungan besar bagi bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya.
Demikian juga dengan kehati-hatian semua pihak dalam bertindak dan bersuara dalam menyampaikan aspirasi, perubahan sikap partai politik, anggota DPR RI dan para pejabat negeri ini menjadi lebih baik adalah keuntungan besar dari adanya demonstrasi.
Mengembalikan demokrasi ke republik ini sungguh mahal harganya. Menemukan idealis-idealis muda dan idealis-idealis tua juga tidak murah. Dengan demikian, jika demonstrasi telah membuat segala yang mahal itu menjadi tiba-tiba ada, maka tidak ada kerugian yang bisa dibandingkan dengan keuntungan yang sedemikian besar disumbangkan melalui demonstrasi. (*)