![]() |
Perum Bulog menyatakan siap menjadi pemasok beras premium untuk program MBG. (Foto: merahputih.com) |
JAKARTA - Beras yang dipakai untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) diharuskan beras premium. Itu tertuang dalam kontrak perjanjian pelaksana MBG. Namun, masih ada saja pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan lebih dari program MBG. Yaitu dengan mengubah kualitas beras yang dipakai.
Ombudsman mendapatkan temuan bahwa beras yang digunakan dalam program MBG adalah beras medium. Hal itu segera mendapatkan perhatian dari Kepala Badan Gizi Nasiona (BGN) Dadan Hindayana. Dia berjanji akan segera menindaklanjuti temuan Ombudsman itu.
Dadan menegaskan jika pihaknya mendapatkan ada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG benar-benar melakukan seperti temuan Ombudsman, maka pihaknya akan bertindak tegas. Menurutnya, pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan apa yang ada di lapangan. Dan itu akan menjadi bagian dari pemeriksaan kepatuhan.
"Gini, itu kan salah satu bagian pengawasan. Jadi kalau ada yang gitu-gitu (SPPG bermasalah), pasti urusannya nanti dengan urusan pemeriksaan," katanya dikutip dari cnnindonesia.com.
Sebelumnya Ombudsman mengungkap adanya ketidaksesuaian antara kontrak dan realisasi bahan pangan untuk MBG. Di Bogor, misalnya, SPPG menerima beras medium dengan kadar patah di atas 15 persen, meski kontrak mencantumkan beras premium.
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi KU III Ombudsman RI Kusharyanto menyebut hal tersebut sebagai bentuk penyimpangan prosedur. "Yang kami temukan itu adalah bahwa ada penyimpangan ketika pengadaan menyatakan premium tetapi yang disediakan oleh supplier justru medium, dan itu lolos dari pengecekan SPPG," ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (30/9).
Dijelaskan, negara sudah membayar dengan harga premium, tetapi anak-anak di sekolah justru menerima beras kualitas medium.
Senada, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyebut kondisi ini merugikan kualitas sajian MBG. "Negara membayar dengan harga premium, sementara kualitas yang diterima anak-anak belum optimal," ujarnya.
Temuan ini menjadi bagian dari kajian Ombudsman mengenai penyelenggaraan MBG yang masih menyimpan banyak masalah. Di sejumlah daerah, sayuran datang dalam kondisi tidak segar, lauk-pauk tidak lengkap, hingga keterbatasan tenaga dan kompensasi bagi relawan maupun guru yang turut menangani distribusi.
Selain itu, Ombudsman juga menyoroti belum adanya standar mutu bahan (AQL) yang tegas, lemahnya pengendalian mutu di dapur, hingga pelanggaran aturan distribusi makanan yang seharusnya maksimal empat jam.
Sistem pengawasan digital BGN pun dinilai masih parsial dan belum mampu menyajikan data real time terkait mutu bahan maupun insiden keracunan. Dengan berbagai catatan tersebut, Ombudsman meminta tata kelola MBG diperbaiki agar lebih transparan, akuntabel, dan berpihak pada penerima manfaat. (nra)